17 April 2011

'Korban' Proyek Lahan Kantor Gubernur Sultra

Proyek Perluasan lahan Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara mulai makan 'korban'. Rabu (13/4) sekitar pukul 18.25 WITA dua pejabat Pemerintah Kota Kendari dicokok kejaksaan. Mereka adalah Sekot. Amarullah dan Kepala BPN Kota Kendari, Ruslan Emba. Semula berkembang spekulasi bahwa kedua orang tadi kecil kemungkinan ditahan meski sudah berstatus tersangka.  Amarullah ditahan dengan surat perintah No: Sprint-06/R.3/Fd.1/ IV/2001, sementara surat perintah bernomor: Sprint-05/R.3/Fd.1/ IV/2001 diterbitkan untuk Ruslan Emba.

Analisa sebagian kalangan menuturkan bahwa status Amarullah dan Ruslan Emba hanya sebatas Panitia 9 yang terlibat dalam penetapan dan memutuskan besaran harga ganti rugi tanah pada lahan Kantor Gubernur Sultra. Yang pasti keduanya mengaku tidak pernah terlibat dalam proses pencairan uang.

Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra pun bersikukuh penetapan  tersangka terhadap keduanya, dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp 2,1 Miliar di atas lahan 16 Ha sudah didasari berbagai pertimbangan hukum secara matang. Kala itu Amarullah dan Ruslan masing-masing menjabat sebagai ketua dan sekretaris panitia sembilan pengadaan tanah proyek perluasan Kantor Gubernur Sultra tahun 2010.

Dalam kasus itu, kejaksaan menemukan bahwa dari 46.731 meter persegi tanah yang dibebaskan dengan jumlah pemilik 31 orang, 29 di antaranya tidak memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat. Hanya dua orang memiliki sertifikat, sisa 29 lainnya hanya memiliki surat keterangan dari mantan lurah, begitu kata Kajati Sultra Nashruddien.  Nashruddien menjelaskan, tanah yang dikuasai 29 orang itu sebenarnya berstatus tanah negara sehingga tidak berhak memeroleh ganti rugi. Namun, panitia sembilan tetap membayarkan ganti rugi senilai total Rp 2,1 Miliar.

Disinyalir, penahanan Amarullah karena selaku ketua Panitia 9 ikut menandatangani Berita Acara pembebasan lahan tanpa melalui musyawarah dengan para pemilik lahan sebagai salah satu tugas Panitia 9. Adapun Kepala KPN Kota Kendari Ruslan Emba ditahan ikut memberikan legitimasi pembayaran dengan bukti penerbitan sertifikat tanah dan berkapasitas sebagai Sekretaris Panitia 9.

Rumornya, Panitia 9 dinilai melanggar  UU No 51 Tahun 1960 (Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya), UU No 20 Tahun 1961 Jo Peppres Nomor 36 Tahun 2005 ( Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya) dan Peppres No 65 Tahun 2006 yang menyoal mekanisme tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum.

Namun Ruslan menegaskan tindakan tim sembilan telah sesuai prosedur perundangan dan tak menyalahi ketentuan apapun. Tanah yang dipermasalahkan jaksa masih berstatus tanah negara yang dikuasai dan bukan tanah negara bebas. Dalam kasus tanah negara dikuasai, proses pembebasannya harus membayar ganti rugi kepada yang menguasai. Lain halnya kalau tanah negara bebas. Jadi, tuduhan itu salah persepsi dan tidak tepat.

Surat keterangan lurah, menurut Ruslan, juga dimungkinkan menjadi bukti dasar awal kepemilikan atas tanah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997. Panitia Sembilan juga telah melakukan verifikasi atas ke-29 pemilik tanah itu dengan meminta keterangan saksi, batas tanah, serta identifikasi lapangan sebelum membayarkan ganti rugi.

Penyidikan kasus tersebut sudah bergulir kencang. Kini tinggal menunggu siapa lagi aktor-aktor yang disinyalir terlibat dalam proses pembebasan lahan Kantor Gubernur Sultra tersebut. Kita berharap agar Kejati Sultra bekerja seoptimal mungkin dengan tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah. Dengan kata lain penyidik kejaksaan harus menjaga prinsip kehati-hatian dalam menjalan tugasnya.

Tidak ada komentar: